PENELUSURAN KEBUDAYAAN SUKU BADUY

Baduy atau biasa disebut juga masyarakat Kenekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda yang terletak di Lebak, Banten. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, dengan bagian desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah desa Ciboleger. Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar. 

Masyarakat Baduy secara umum terbagi menjadi 3 kelompok:

  • Masyarakat Tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam yang paling ketat megikuti adat.
  • Masyarakat Panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar. 
  • Masyarakat Dangka adalah kelompok masyarakat baduy luar yang tinggal diluar wilayah Kenekes (Padawaras dan Sirah dayeuh), yang berfungsi sebagai wilayah penyangga atas pengaruh dari luar.

Baduy Dalam terdiri dari 3 desa yaitu:

  •  Cibeo
  •  Cikeusik
  •  Cikertawarna

Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Baduy dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai Jaro Pamarentah, yang ada di bawah Camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu Pu’un. Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu’unan dilaksanakan oleh Jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan, dan Jaro Pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro tangtu adalah satu-satunya warga suku Baduy yang memiliki kewenangan bertemu Pu’un. Jaro Dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang Jaro Tangtu disebut sebagai Jaro Duabelas. Pimpinan dari Jaro Duabelas ini disebut sebagai Jaro Tanggungan. Adapun Jaro Pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan Pemerintah Nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh Pangiwa, Carik, dan Kokolot Lembur atau Ketua Kampung.

Hukuman di dalam masyarakat Baduy sendiri disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan si pelanggar oleh Pu’un untuk diberikan peringatan.

Contoh Pelanggaran Ringan:

  • Berpakaian tidak sesuai dengan adat
  • Menggunakan alat elektronik
  • Menggunakan alas kaki

Contoh pelanggaran Berat:

  • berzinah 
  • Mencuri
  • beristri lebih dari satu 
  • bepergian menggunakan kendaraan saat sedang mendapat tugas atau mengantar pesanan ke luar kampung 
Sedangkan, dalam konsumsi makanan tidak terdapat larangan apa pun. Bahkan, terdapat salah satu warga (Baduy Luar) yang dengan bebas menjual jajanan seperti ciki-cikian, permen, roti, dll. dengan bebas. 

Selain larangan bagi warganya, adapula larangan bagi pengunjung atau turis yang berkedatangan ke baduy dalem. 

Larangan Pengunjung untuk di Baduy Dalam, yaitu:

  • Memakai Sabun saat Mandi
  • Odol
  • Sampo
  • Memainkan Handphone
  • Mengambil Gambar/Dokumentasi
  • Biasanya para pengunjung juga akan dilarang untuk membantu dalam menyiapkan makan.

Mayoritas Masyarakat Baduy mengakui kepercayaan Sunda Wiwitan, yang mana kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam. Kepercayaan Sunda Wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari, langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewahan). “Kalo untuk agama mah, sebenarnya tidak jauh beda dengan kalian. Cuman caranya saja yang agak berbeda” ujar Mang Sardi (Jaro Kampung). Pada beberapa keadaan Suku Baduy akan mengadakan Syukuran seperti pada saat adanya warga yang Meninggal, Pernikahan, Kelahiran Bayi, dan Pembukaan Lahan Pertanian. Dari semua Syukuran tersebut terdapat pengadaan Syukuran besar-besaran yang biasa disebut Kawalu yang dilaksanakan pada 3 bulan berturut-turut (bulan kasa, karo dan katiga) dalam satu tahun sekali. Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari Sekolah. Orang Baduy Dalam tidak mengenal Budaya Tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. “Untuk Pendidikan, kalo masih kecil ya sama orang tuanya, tapi kalo sudah besar (remaja s/d dewasa) biasanya di didik sama Jaro” (Mang Sardi).

Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah Tanam Padi/Huma (Ladang) dan berkebun serta membuat kerajinan Koja atau Tas dari Kulit Kayu, mengolah Gula Aren, Tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual Buah-Buahan (Durian, Asam Keranji, dan Madu Hutan). Kehidupan orang Baduy berpenghasilan dari Pertanian, dimulai pada bulan keempat kalender Baduy yang dimulai dengan kegiatan nyacar yakni membersihkan semua belukar untuk menyiapkan ladang. 

Teknologi Peralatan dan Teknologi Kehidupan orang Baduy berpusat pada daur ulang pertanian yang diolah dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. Mereka mengandalkan peralatan yang masih sangat primitive seperti Bedog, Kampak, Cangkul, dll. Bahkan untuk pembangunan rumah sekalipun, tidak terlihat adanya penggunaan Paku pada setiap sudutnya. Dalam pembuatan rumah ternyata juga terdapat ketentuan yang berlaku, seperti hanya dapat menghadap Selatan atau Utara, bagian dalam tidak boleh terdapat Sekatan kamar dan hanya boleh ada Sekatan antara Dapur (Rumah) dan Lantai bagian dalam/Ruang Keluarga (Tepas).

Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Bahan dasarnya harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun sendiri oleh para istri. Untuk suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam atau biru tua, ikat kepala (hitam/biru tua) dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans

Di dalam proses pernikahan, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing. Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Namun, untuk saat ini telah diadakan pertimbangan dengan penanyakan pendapat kepada pasangan yang akan dijodohkan. Mang Sardi: “Tapi kalo sekarang mah ada pertimbangan dari si anak, kalo ada salah satu yang gak mau ya berarti cari lagi sampai ketemu yang mau”.

Mengenal Leuit, Simbol Ketahanan Pangan Suku Baduy 

Leuit adalah lumbung padi tradisional yang menjadi simbol penting dalam budaya suku Baduy, masyarakat adat yang tinggal di pedalaman Banten. Leuit bukan sekadar tempat penyimpanan padi, tetapi juga merepresentasikan nilai-nilai kearifan lokal, ketahanan pangan, dan keseimbangan alam.

Apa itu Leuit? 

Leuit adalah istilah dalam bahasa Sunda yang merujuk kepada pemukiman tradisional suku Baduy, sebuah kelompok etnis yang mendiami wilayah pedalaman Banten bagian barat, Indonesia. Secara harfiah, "leuit" berarti "tempat". Leuit terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar:
  • Baduy Dalam adalah bagian dari Leuit yang merupakan pusat kehidupan masyarakat Baduy yang paling tradisional. Di sini, masyarakat Baduy hidup sederhana, mengikuti adat istiadat nenek moyang mereka, dan menjauhi pengaruh dunia luar sebisa mungkin. Mereka tinggal di rumah panggung tradisional yang disebut "huma", yang terbuat dari bambu dan anyaman daun rumbia. Kehidupan sehari-hari mereka terpusat pada pertanian, peternakan, dan kerajinan tangan.
  • Baduy Luar adalah merupakan bagian dari Leuit yang memungkinkan sedikit lebih banyak interaksi dengan dunia luar. Meskipun masih mempertahankan beberapa aspek tradisional, masyarakat di Baduy Luar memiliki sedikit lebih banyak akses terhadap barang-barang modern dan interaksi dengan masyarakat di luar wilayah Baduy.
Secara keseluruhan, Leuit adalah pusat kehidupan, kegiatan, dan pemeliharaan budaya bagi suku Baduy. Tempat ini memegang peranan penting dalam menjaga keaslian budaya dan tradisi nenek moyang mereka. Leuit juga menjadi objek studi dan minat wisatawan yang tertarik untuk memahami lebih dalam tentang keunikan dan keindahan kebudayaan suku Baduy.


Menyelami Makna Leuit:

Bagi suku Baduy, leuit memiliki makna yang lebih dalam. Di balik fungsinya sebagai tempat menyimpan padi, leuit merupakan simbol: 

  • Ketahanan pangan: Leuit memastikan komunitas Baduy memiliki cadangan makanan yang memadai, meminimalisir risiko kelaparan, dan mencerminkan kemandirian mereka. 
  • Kearifan lokal: Material leuit, seperti bambu dan ijuk, merupakan hasil alam yang diolah dengan teknik tradisional, menunjukkan kearifan lokal dan penghormatan terhadap alam. 
  • Nilai-nilai budaya: Leuit menjadi bagian dari ritual adat Baduy, seperti Seren Taun dan Seba Baduy, memperkuat identitas dan nilai-nilai budaya mereka.

Jenis-jenis Leuit: 

  • Leuit pare: Untuk menyimpan padi kering. 
  • Leuit jeungjing: Untuk menyimpan padi basah sebelum dikeringkan. 
  • Leuit indung: Lumbung utama yang biasanya lebih besar dan tinggi. 
  • Leuit cau: Lumbung kecil untuk menyimpan benih padi. 
  • Leuit tangkal: Lumbung yang dibangun di atas pohon. 


Arsitektur Leuit: 

  • Bentuk: Leuit umumnya berbentuk bulat, lonjong, atau persegi panjang dengan atap yang tinggi dan menjulang. 
  • Bahan: Terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu, dan ijuk tanpa menggunakan paku.
  • Kaki leuit: Tinggi untuk menghindari hama dan hewan pengerat. 
  • Ventilasi: Didesain untuk menjaga sirkulasi udara dan mencegah padi dari jamur. 

Bangunan Leuit 

Leuit biasanya dibangun di atas tiang-tiang tinggi untuk menghindari hama dan hewan pengerat. Leuit tidak menggunakan paku dan konstruksinya didasarkan pada sambungan kayu yang kokoh. Atap leuit terbuat dari ijuk yang dianyam rapat untuk menjaga padi dari air hujan.



Pemilik Leuit: 

  • Leuit individu: Dimiliki oleh individu dan keluarga untuk menyimpan padi hasil panen keluarga. 
  • Leuit komunitas: Dimiliki oleh komunitas untuk menyimpan cadangan pangan bagi seluruh anggota komunitas. 

Pembuatan Leuit: 

Pembangunan leuit dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat Baduy dengan menggunakan bahan-bahan alami dari hutan. Proses pembangunannya diawali dengan ritual adat untuk memohon keselamatan dan kelancaran.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar